I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kelinci (Cavia
porcellus) termasuk kedalam kingdom animalia dan kelas mammalia. Kelinci (Cavia
porcellus) merupakan kelompok hewan yang paling sempurna baik morfologi
ataupun anatominya karena ia mempunyai susunan organ yang kompleks dan susunan
metabolisme didalam tubuhnya yang juga kompleks. Kelinci merupakan salah
satu ternak alternatif penghasil daging sebagai sumber protein karena kelinci
mempunyai laju pertumbuhan
dan perkembangbiakan yang
relatif cepat. Kelinci mampu memproduksi daging yang berkadar
lemak sangat rendah
dan disamping itu kelinci juga merupakan ternak penghasil
bulu yang potensial.
Kelinci
merupakan hewan pseudoruminansia. Lambungnya tidak sespesifik seperti pada
hewan ruminansia yang memilik 4 lambung (rumen, reticulum, omasum, abomasum).
Lambung pada kelinci hanya ada satu, yang terbagi menjadi bagian kardiak,
fundus dan pylorus. Tubuh kelinci (Cavia porcellu)
dibagi menjadi empat bagian yaitu : caput, cervix, truncus dan cauda. Pada
caput terdapat rima oris, vibrisae, nares, organon visus. Ciri-ciri yang
dimiliki kelas mamalia seperti pada kelinci (Cavia porcellus) memiliki
kelenjar mammae (merupakan modifikasi kelenjar peluh) untuk menyusui anaknya.
Mempunyai telinga yang panjang dan kaki belakang yang lebih panjang dari pada
kaki depan. kelinci termasuk hewan tetrapoda yang memiliki 4 anggota gerak
berupa kaki.
Kelinci mempunyai sifat coprophage/cecotrophy
sifat ini merupakan ciri khas dari kelinci, yaitu tingkah laku kelinci
memakan kembali kotoran (faeces) lunak langsung dari anusnya (coprophage
pellets) yang terjadi pada malam hari, sehingga disebut juga Ruminansia
semu (pseudo-ruminant).Walaupun memiliki caecum (bagian pertama
usus besar) yang besar, kemampuan kelinci dalam mencerna serat kasar terbatas,
tidak sebanyak ruminansia. Dalam peternakan kelinci, kelangsungan hidupnya akan
sangat tergantung perhatian dan tatalaksana pemeliharaan dari peternaknya.
Jenis, jumlah, dan mutu pakan yang diberikan sangat menentukan pertumbuhan,
perkembangan, kesehatan, dan produksi.
1.2 Tujuan
1.
Mengetahui
manajemen reproduksi kelinci
2.
Mengetahui
manajemen kesehatan kelinci
3.
Mengetahui
manajemen pakan kelinci
4.
Mengetahui manajemen
pemberian pakan kelinci
1.3 Waktu dan
Tempat
Praktikum manajemen reproduksi ternak komoditas kelinci dilaksanakan pada
Kamis, 23 Maret 2017, pukul 14.30 – 16.30 WIB. Bertempat di rumah bapak Bambang
Sumantri di Jl. Krapyak Rt 06/03 Desa Karangmalang, Kelurahan Teluk, Purwokerto
Selatan.
II.
ISI
2.1
Sistem Reproduksi
Sistem
reproduksi tersusun atas genital internal dan eksternal. Organ internal pada
kelinci betina berupa sepasang ovarium dan uterus. Ovarium terletak sebelah
kaudal dari ren dan didalamnya terdapat folikel-folikel Graaf berbentuk
gelembung. Uterus berjumlah sepasang dan berkelok-kelok dan terbagi atas
infundibulum, tuba dan uterus. Organ eksternal tersusun atas vagina, vulva, labium
majus, labium ninus, dan clitoris. Sedangkan organ reproduksi jantan memiliki
organ internal dan eksternal. Organ internal terdiri dari testis dan
epididimis. Testis tedapat sepasang yang terletak dalam scrotum. Testis
merupakan penghasil sperma dikeluarkan melalui epididimis yang merupakan tempat
pematangan kemudian ke vas deferens. Sedangkan pada organ eksternal berupa
penis. Penis merupakan alat kopulasi dan tersusun dari corpus cavernosum penis
dan corpus gavernosum urethae (Kastawi, 1992).
Pubertas
(dewasa kelamin) itu sendiri adalah suatu periode dimana organ-organ reproduksi
jantan atau betina yang berfungsi dan perkembangbiak. Menurut Kartadistra
(1995), Hewan jantan purbertas ditandai oleh kesanggupan berkopulasi dan
menghasilkan sperma disertai perubahan-perubahan kelamin sekunder lainnya.
Sedangkan pada hewan betina, pubertas ditandai dengan terjadi estrus dan
ovulasi. Kelinci akan mulai mencoba kopulasi 1-2 bulan sebelum mencapai
pubertas, tetapi tidak bisa untuk memproduksi anak sampai ia pubertas. Pubertas
pada kelinci bervariasi dan terhitung pada breed. Kelinci jenis kecil mempunyai
masa pubertas lebih dini dibandingkan kelinci jenis besar. Kelinci betina lebih
dulu mengalami pubertas dibandingkan kelinci jantan. Menurut Tarsono (2009), bahwa dewasa kelamin pada kelinci jantan jenis NZW (New Zealand White) dicapai pada umur 6
bulan. Sedangkan menurut Diwyanto (1985), bahwa kelinci jantan mencapai
dewasa kelamin pada umur 4-8 bulan, tergantung pada bangsa dan tingkat
makanannya.
Sirklus birahi (estrus) kelinci tidak beraturan sebagaimana didapatkan pada
kebanyakan hewan lainnya. Pada saat pubertas follicle stimulating hormone (FSH) dilepaskan ke dalam aliran darah menyebabkan pertumbuhan folikel-folikel
pada ovarium. Sewaktu folikel-folikel tersebut tumbuh menjadi matang, berat
ovarium meninggi dan estrogen disekresikan di dalam ovarium untuk dilepaskan ke
dalam aliran darah. Estrogen menyebabkan hewan betina menerima hewan jantan.
Umumnya perkembangan folikel terjadi dalam beberapa gelombang, pada waktu yang
sama 5-10 yang berkembang pada tingkat yang sama di ovarium. Folikel yang mulai
berkembang ada terus menerus, jadi terdapat beberapa tingkatan perkembangan
dari folikel. Apabila folikel-folikel telah matang, mereka aktif dalam memproduksi
estrogen selama kira-kira 12-14 hari. Setelah periode ini, jika ovulasi tidak
terjadi, folikel akan mengalami degenerasi, sesuai dengan pengurangan tingkat estrogen dan kemampuan menerima hewan jantan. Kelinci yang didomestikasi mempunyai siklus
birahi (estrus) yang beraturan,
umumnya terjadi setiap 4-6 hari dan berhubungan erat dengan periode estrogen
serta dapat dilihat pada keadaan sitologi vagina (Tarsono, 2009). Tanda-tanda
birahi yang terlihat adalah vagina yang membengkak dan berwarna kemerah-merahan.
Sedangkan serta
tingkah laku jika dipegang punggungnya maka induk akan terangkat
tubuh bagian belakang.
Campbell (1999) menjelaskan bahwa, fertilisasi pada kelinci
terjadi secara internal. Testis terkandung dalam saku krotal. perkembangan
embrio terjadi di dalam uterus. Plasenta kelinci terbentuk dari persatuan
antara korion dan allantois. Lama kandungan (gestasi) 30 hari. Mungkin sampai
ada 10 buah yang terjadi simultan. Kelinci dewasa secara seksual berumur 3 bulan. Kelinci
terkenal karena sistem reproduksinya yang betina berevolusi segera setelah
senggama sehingga pembuahan terjamin. Selain itu kelinci betina mempunyai
sistem reproduksi yang istimewa yaitu mampu mengandung 2 rumpun anak sekaligus
karena memiliki rahim ganda. Pembuahan pada rahim yang 1 tidak menghalangi
ovulasi pada rahim yang satunya lagi. Gejala ini di sebut superfetasi dan
meskipun langka dianggap cukup sering terjadi.
Sistem perkawinan dapat dilakukan secara
alami atau melalui inseminasi buatan. Jika dilakukan secara alami mengingat
sifat teritorial pejantan menurut perkawinan dilakukan di kandang pejantan dan
jika sebaliknya pejantan tidak mau berkopulasi. Induk yang dikawinkan sebaiknya
yang sedang estrus dengan tanda vagina yang membengkak kemerahan, karena induk
yang estrus memudahkan pejantan berkopulaasi. Bila kopulasi terjadi ditandai
dengan jatuhnya pejantan disamping dan berlangsung sangat cepat Adanya cairan
dalam vagina belum menjamin terjadinya perkawinan yang fertil, kadang-kadang
saat ejakulasi hanya berisi plasma semen tanpa sperma. Untuk awal perkawinan
perlu diulang agar fertilitas terjadi. Jika pejantan kesulitan untuk
berkopulasi, maka dapat dibantu sehingga kopulasi terjadi. Moerfiah (1985)
menyatakan bahwa, panas merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh
pada kelinci di negara tropis, suhu lingkungan diatas 30° C dapat menghambat
fertilisasi pada pejantan sedangkan pada betina bunting dapat mengakibatkan
kematian embrio. Untuk itu waktu mengkawinkan kelinci sebaiknya dilakukan pada
pagi hari atau sore hari pada saat suhu tidak terlalu panas (berkisar 23°C -
25° C). Pada daerah bersuhu sejuk, perkawinan pada siang hari pada hakekatnya
tidak bermasalah. Kebiasaan peternak mengawinkan kelinci pada pagi hari lebih
banyak disebabkan karena tersedianya waktu luang yaitu sebelum peternak
bercocok tanam (Diwyanto, 1985).
2.2 Manajemen Pemeliharaan Kelinci
1. Persiapan Kandang
Fungsi utama kandang
dalam peternakan adalah sebagai tempat berkembang biak. Suhu ideal dalam
area kandang adalah 21o C, sirkulasi udara lancar, lama pencahayaan
ideal 12 jam dan melindungi ternak dari predator. Menurut kegunaan, kandang
kelinci dibedakan menjadi kandang induk
untuk induk/kelinci dewasa atau induk dan anak-anaknya, kandang jantan,
khusus untuk pejantan dengan ukuran lebih besar dan kandang anak lepas sapih,
untuk menghindari perkawinan awal kelompok dilakukan pemisahan antara jantan
dan betina. Kandang berukuran 200x70x70 cm tinggi alas 50 cm cukup untuk 12
ekor betina/10 ekor jantan. Kandang anak (kotak beranak) ukuran 50x30x45 cm.
2. Pemilihan Bibit
Untuk syarat ternak
tergantung dari tujuan utama pemeliharaan kelinci tersebut. Yunus (1990)
menyebutkan, untuk tujuan hias maka jenis Angora, American Chinchilla dan Rex merupakan
ternak yang cocok. Sedang untuk tujuan daging maka jenis Belgian, Californian,
Flemish Giant, Havana, Himalayan dan New Zealand merupakan ternak yang cocok
dipelihara. Bila peternakan bertujuan untuk daging, dipilih jenis kelinci yang
berbobot badan dan tinggi dengan perdagingan yang baik, sedangkan untuk tujuan
bulu jelas memilih bibit-bibit yang punya potensi genetik pertumbuhan bulu yang
baik. Secara spesifik untuk keduanya harus punya sifat fertilitas tinggi, tidak
mudah kaget, tidak cacat, mata
bersih dan terawat, bulu tidak kusam, lincah/aktif bergerak (Sarwono, 1985).
3. Pemberian Pakan
Kelinci memiliki kemampuan
biologis yang tinggi, selang beranak pendek, mampu beranak banyak, dapat hidup
dan berkembang biak di limbah pertanian da hijauan. Menurut Darman (2011), bahwa ketersediaan
rumput, leguminosa, berbagai jenis herbal, dan limbah sayuran seperti daun
wortel, kobis serta limbah petanian seperti dedak, onggok, ampas tahu dan lain-lain. Pakan di
daerah beriklim tropis seperti Indonesia itu merupakan potensi yang dapat
dimanfaatkan sebagai bakan pakan kelinci.
Pakan merupakan salah satu faktor
lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya produktivitas
ternak. Penerapan tatalaksana pemberian pakan, yang berorientasi pada kebutuhan
kelinci dan ketersediaan bahan pakan, merupakan upaya yang tepat untuk
meningkatkan produktivitas ternak kelinci secara efisien (Muslih, 2010).
4. Pemberian Minum
Air sangat diperlukan
untuk melancarkan makanan dalam saluran pencernaan, terlebih lagi terkait
dengan produksi susu bagi induk yang sedang menyusui. Air minum diberikan
secara adlibitum. Pemberian dapat dilakukan dengan menyediakan
tempat minum pada masing-masing kandang. Pada beberapa peternakan intesif air
minum diberikan dengan sistem nipple yang diinstalasikan pada masing-masing
kandang.
5. Kebersihan Kandang
Kandang kelinci seharusnya dibersihkan setiap
hari seperti buang sisa pakan segar yang tidak
dimakan dari kandang setiap hari (pada pagi dan malam hari), cuci wadah pakan
dan minum, lalu isi ulang dengan yang baru, dan bersihkan dasar kandang dengan
sapu lidi, lalu bersihkan kotoran yang lengket (kotoran akibat diare atau sisa
pakan yang menempel di dasar kandang). Ada kalanya perlu dilakukan desinfeksi
kandang secara berkala. Namun, desinfektan yang digunakan harus dibilas dengan
baik dan disesuaikan dengan bahan pembuat kandang. Desinfektan bukan merupakan
pilihan yang baik untuk kandang kayu karena mudah menyerap bahan kimia
(Muhammad, 2013).
6. Penyakit dan Pengendalian Penyakit
Penyakit yang biasa menyerang ternak kelinci
salah satunya yaitu scabies, kembung,
diare, dan lain-lain. Scabies
merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei yang
berkembang biak pada permukaan kulit. Gejala klinis Scabies diantaranya berupa
gatal-gatal, ditemukannya banyak ketombe pada permukaan kulit dan terjadinya
kerontokan bulu. Penyakit ini ditularkan relatif cepat melalui kontak langsung
dari satu individu hewan yang telah terinfestasi Sarcoptes scabies kepada
individu hewan yang lain. Kasus scabies di Indonesia masih cukup tinggi
jumlahnya dan seringkali ditemukan pada hewan kecil maupun hewan besar (Rahayu, 2015).
III.
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
1. Sistem reproduksi tersusun
atas genital internal dan eksternal.
2. Organ reproduksi kelinci betina berupa sepasang ovarium, uterus,
vagina, vulva, labium majus, labium ninus, dan clitoris.
3. Organ reproduksi
jantan terdiri dari testis, epididimis, penis.
4. Manajemen pemeliharaan kelinci terdiri atas
persiapan kandang, pemilihan bibit, pemberian pakan, pemberian minum,
kebersihan kandang, serta pengendalian penyakit
3.2 Saran
Dalam usaha budidaya
kelinci sebaiknya lebih memperhatiakn beberapa aspek diatas , agar hasil dari
ternak tersebut bisa lebih optimal.
Untuk lebih memahami
semua tentang ternak kelinci, disarankan para pembaca mencari referensi lain
yang berkaitan dengan materi pada makalah ini. Selain itu, diharapkan para
pembaca setelah membaca makalah ini mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari – hari.
DAFTAR PUSTAKA
Campbell. Neil A. 1999. Biologi edisi kelima jilid 2.
Erlangga. Jakarta.
Coleman.
1965. Pemeliharaan Kelinci dan Burung Puyuh. Yasaguna. Jakarta.
Darman. 2011. “Analisis Ekonomi Usaha
Ternak Kelinci”. Binus Bussines Review
vol 2 (2): 914-92
Diwyanto, K. Moerfiah dan P. Sitorus, 1985. Pengaruh Umur Penyapihan dan Bobot Badan dan
Mortilitas Kelinci. Balitnak. Bogor.
Kartadisastra, H. R. 1995. Berternak Kelinci Unggul. Kanisius. Yogyakarta.
Kastawi, 1992. Aneka Ternak. Universitas Brawijaya, Malang.
Moerfiah dan K. Diwyanto. 1985. Performa Produksi Berbagai Jenis Kelinci
(Reproduksi, Litter Size dan Bobot Lahir). Balai Penilaian Ternak. Bogor.
Muhammad, Y., Kanda dan
Pratiwi, K. 2013. Hewan kesayangan mini
dan eksotik. Penebar Swadaya. Jakarta.
Muslih, dkk. 2010. Tatalaksana pemberian pakan untuk
menunjang agrobisnis kelinci. Balai penelitian ternak. Bogor.
Rahayu,
Asih dan Miranti Candrarisna. 2015. Perbandingan Aktivitas Linimentum Ekstrak
Koral Kelimutu dan Linimentum Ekstrak Daun Lamtoro (Leucaena leucochepala)
Terhadap Penyembuhan Scabies Pada Kelinci (Oryctolagus cuniculus). Jurnal sains veteriner. Vol 33. No 2. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Wijaya Kusuma. Surabaya.
Sarwono, B.
1985. Beternak Kelinci Unggul.
Penebar Swadaya. Jakarta.aa
Tarsono, Najamudin, Mustaring,
Yulius, D, Supriono. “Performa Litter Kelinci-Induk Lokal yang Diberi Pakan
Hijauan Ubi Jalar Disuplementasi Sejumlah Kosentrat Berbeda”. Jurnal Agroland.Vol 16(1): 78-84.
Warman AR, 1982. Penyakit Pada Kelinci Mencegah Dan
Mengobatinya. Dirgahayu. Bandung.
Yunus, M.,
dan Minarti, S. 1990. Aneka
Ternak. Universitas Brawijaya. Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar