Jumat, 09 Juni 2017

Makalah Akhir

I.                   PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelinci (Cavia porcellus) termasuk kedalam kingdom animalia dan kelas mammalia. Kelinci (Cavia porcellus) merupakan kelompok hewan yang paling sempurna baik morfologi ataupun anatominya karena ia mempunyai susunan organ yang kompleks dan susunan metabolisme didalam tubuhnya yang juga kompleks. Kelinci  merupakan  salah  satu  ternak  alternatif penghasil  daging sebagai sumber protein karena kelinci mempunyai  laju  pertumbuhan  dan  perkembangbiakan yang relatif  cepat. Kelinci mampu  memproduksi daging yang  berkadar  lemak  sangat  rendah  dan  disamping  itu kelinci juga merupakan ternak penghasil bulu yang  potensial.
Kelinci merupakan hewan pseudoruminansia. Lambungnya tidak sespesifik seperti pada hewan ruminansia yang memilik 4 lambung (rumen, reticulum, omasum, abomasum). Lambung pada kelinci hanya ada satu, yang terbagi menjadi bagian kardiak, fundus dan pylorus. Tubuh kelinci (Cavia porcellu) dibagi menjadi empat bagian yaitu : caput, cervix, truncus dan cauda. Pada caput terdapat rima oris, vibrisae, nares, organon visus. Ciri-ciri yang dimiliki kelas mamalia seperti pada kelinci (Cavia porcellus) memiliki kelenjar mammae (merupakan modifikasi kelenjar peluh) untuk menyusui anaknya. Mempunyai telinga yang panjang dan kaki belakang yang lebih panjang dari pada kaki depan. kelinci termasuk hewan tetrapoda yang memiliki 4 anggota gerak berupa kaki.
Kelinci mempunyai sifat coprophage/cecotrophy sifat ini merupakan ciri khas dari kelinci, yaitu tingkah laku kelinci memakan kembali kotoran (faeces) lunak langsung dari anusnya (coprophage pellets) yang terjadi pada malam hari, sehingga disebut juga Ruminansia semu (pseudo-ruminant).Walaupun memiliki caecum (bagian pertama usus besar) yang besar, kemampuan kelinci dalam mencerna serat kasar terbatas, tidak sebanyak ruminansia. Dalam peternakan kelinci, kelangsungan hidupnya akan sangat tergantung perhatian dan tatalaksana pemeliharaan dari peternaknya.  Jenis, jumlah, dan mutu pakan yang diberikan sangat menentukan pertumbuhan, perkembangan, kesehatan, dan produksi.
1.2 Tujuan
1.    Mengetahui manajemen reproduksi kelinci
2.    Mengetahui manajemen kesehatan kelinci
3.    Mengetahui manajemen pakan kelinci
4.    Mengetahui manajemen pemberian pakan kelinci
1.3  Waktu dan Tempat
Praktikum manajemen reproduksi ternak komoditas kelinci dilaksanakan pada Kamis, 23 Maret 2017, pukul 14.30 – 16.30 WIB. Bertempat di rumah bapak Bambang Sumantri di Jl. Krapyak Rt 06/03 Desa Karangmalang, Kelurahan Teluk, Purwokerto Selatan.


II.                ISI
2.1 Sistem Reproduksi
Sistem reproduksi tersusun atas genital internal dan eksternal. Organ internal pada kelinci betina berupa sepasang ovarium dan uterus. Ovarium terletak sebelah kaudal dari ren dan didalamnya terdapat folikel-folikel Graaf berbentuk gelembung. Uterus berjumlah sepasang dan berkelok-kelok dan terbagi atas infundibulum, tuba dan uterus. Organ eksternal tersusun atas vagina, vulva, labium majus, labium ninus, dan clitoris. Sedangkan organ reproduksi jantan memiliki organ internal dan eksternal. Organ internal terdiri dari testis dan epididimis. Testis tedapat sepasang yang terletak dalam scrotum. Testis merupakan penghasil sperma dikeluarkan melalui epididimis yang merupakan tempat pematangan kemudian ke vas deferens. Sedangkan pada organ eksternal berupa penis. Penis merupakan alat kopulasi dan tersusun dari corpus cavernosum penis dan corpus gavernosum urethae (Kastawi, 1992).
Pubertas (dewasa kelamin) itu sendiri adalah suatu periode dimana organ-organ reproduksi jantan atau betina yang berfungsi dan perkembangbiak. Menurut Kartadistra (1995), Hewan jantan purbertas ditandai oleh kesanggupan berkopulasi dan menghasilkan sperma disertai perubahan-perubahan kelamin sekunder lainnya. Sedangkan pada hewan betina, pubertas ditandai dengan terjadi estrus dan ovulasi. Kelinci akan mulai mencoba kopulasi 1-2 bulan sebelum mencapai pubertas, tetapi tidak bisa untuk memproduksi anak sampai ia pubertas. Pubertas pada kelinci bervariasi dan terhitung pada breed. Kelinci jenis kecil mempunyai masa pubertas lebih dini dibandingkan kelinci jenis besar. Kelinci betina lebih dulu mengalami pubertas dibandingkan kelinci jantan. Menurut Tarsono (2009), bahwa dewasa kelamin pada kelinci jantan jenis NZW (New Zealand White) dicapai pada umur 6 bulan. Sedangkan menurut Diwyanto (1985), bahwa kelinci jantan mencapai dewasa kelamin pada umur 4-8 bulan, tergantung pada bangsa dan tingkat makanannya.
Sirklus birahi (estrus) kelinci tidak beraturan sebagaimana didapatkan pada kebanyakan hewan lainnya. Pada saat pubertas follicle stimulating hormone (FSH) dilepaskan ke dalam aliran darah menyebabkan pertumbuhan folikel-folikel pada ovarium. Sewaktu folikel-folikel tersebut tumbuh menjadi matang, berat ovarium meninggi dan estrogen disekresikan di dalam ovarium untuk dilepaskan ke dalam aliran darah. Estrogen menyebabkan hewan betina menerima hewan jantan. Umumnya perkembangan folikel terjadi dalam beberapa gelombang, pada waktu yang sama 5-10 yang berkembang pada tingkat yang sama di ovarium. Folikel yang mulai berkembang ada terus menerus, jadi terdapat beberapa tingkatan perkembangan dari folikel. Apabila folikel-folikel telah matang, mereka aktif dalam memproduksi estrogen selama kira-kira 12-14 hari. Setelah periode ini, jika ovulasi tidak terjadi, folikel akan mengalami degenerasi, sesuai dengan pengurangan tingkat estrogen dan kemampuan menerima hewan jantan. Kelinci yang didomestikasi mempunyai siklus birahi (estrus) yang beraturan, umumnya terjadi setiap 4-6 hari dan berhubungan erat dengan periode estrogen serta dapat dilihat pada keadaan sitologi vagina (Tarsono, 2009). Tanda-tanda birahi yang terlihat adalah vagina yang membengkak dan berwarna kemerah-merahan. Sedangkan serta tingkah laku jika dipegang punggungnya maka induk akan terangkat tubuh bagian belakang.
Campbell (1999) menjelaskan bahwa, fertilisasi pada kelinci terjadi secara internal. Testis terkandung dalam saku krotal. perkembangan embrio terjadi di dalam uterus. Plasenta kelinci terbentuk dari persatuan antara korion dan allantois. Lama kandungan (gestasi) 30 hari. Mungkin sampai ada 10 buah yang terjadi simultan. Kelinci dewasa secara seksual berumur 3 bulan. Kelinci terkenal karena sistem reproduksinya yang betina berevolusi segera setelah senggama sehingga pembuahan terjamin. Selain itu kelinci betina mempunyai sistem reproduksi yang istimewa yaitu mampu mengandung 2 rumpun anak sekaligus karena memiliki rahim ganda. Pembuahan pada rahim yang 1 tidak menghalangi ovulasi pada rahim yang satunya lagi. Gejala ini di sebut superfetasi dan meskipun langka dianggap cukup sering terjadi.
Sistem perkawinan dapat dilakukan secara alami atau melalui inseminasi buatan. Jika dilakukan secara alami mengingat sifat teritorial pejantan menurut perkawinan dilakukan di kandang pejantan dan jika sebaliknya pejantan tidak mau berkopulasi. Induk yang dikawinkan sebaiknya yang sedang estrus dengan tanda vagina yang membengkak kemerahan, karena induk yang estrus memudahkan pejantan berkopulaasi. Bila kopulasi terjadi ditandai dengan jatuhnya pejantan disamping dan berlangsung sangat cepat Adanya cairan dalam vagina belum menjamin terjadinya perkawinan yang fertil, kadang-kadang saat ejakulasi hanya berisi plasma semen tanpa sperma. Untuk awal perkawinan perlu diulang agar fertilitas terjadi. Jika pejantan kesulitan untuk berkopulasi, maka dapat dibantu sehingga kopulasi terjadi. Moerfiah (1985) menyatakan bahwa, panas merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh pada kelinci di negara tropis, suhu lingkungan diatas 30° C dapat menghambat fertilisasi pada pejantan sedangkan pada betina bunting dapat mengakibatkan kematian embrio. Untuk itu waktu mengkawinkan kelinci sebaiknya dilakukan pada pagi hari atau sore hari pada saat suhu tidak terlalu panas (berkisar 23°C - 25° C). Pada daerah bersuhu sejuk, perkawinan pada siang hari pada hakekatnya tidak bermasalah. Kebiasaan peternak mengawinkan kelinci pada pagi hari lebih banyak disebabkan karena tersedianya waktu luang yaitu sebelum peternak bercocok tanam (Diwyanto, 1985).
2.2 Manajemen Pemeliharaan Kelinci
1. Persiapan Kandang
Fungsi utama kandang dalam peternakan adalah sebagai tempat berkembang biak. Suhu ideal dalam area kandang adalah 21o C, sirkulasi udara lancar, lama pencahayaan ideal 12 jam dan melindungi ternak dari predator. Menurut kegunaan, kandang kelinci dibedakan menjadi kandang induk  untuk induk/kelinci dewasa atau induk dan anak-anaknya, kandang jantan, khusus untuk pejantan dengan ukuran lebih besar dan kandang anak lepas sapih, untuk menghindari perkawinan awal kelompok dilakukan pemisahan antara jantan dan betina. Kandang berukuran 200x70x70 cm tinggi alas 50 cm cukup untuk 12 ekor betina/10 ekor jantan. Kandang anak (kotak beranak) ukuran 50x30x45 cm.
2. Pemilihan Bibit
Untuk syarat ternak tergantung dari tujuan utama pemeliharaan kelinci tersebut. Yunus (1990) menyebutkan, untuk tujuan hias maka jenis Angora, American Chinchilla dan Rex merupakan ternak yang cocok. Sedang untuk tujuan daging maka jenis Belgian, Californian, Flemish Giant, Havana, Himalayan dan New Zealand merupakan ternak yang cocok dipelihara. Bila peternakan bertujuan untuk daging, dipilih jenis kelinci yang berbobot badan dan tinggi dengan perdagingan yang baik, sedangkan untuk tujuan bulu jelas memilih bibit-bibit yang punya potensi genetik pertumbuhan bulu yang baik. Secara spesifik untuk keduanya harus punya sifat fertilitas tinggi, tidak mudah kaget, tidak cacat, mata bersih dan terawat, bulu tidak kusam, lincah/aktif bergerak (Sarwono, 1985).
3. Pemberian Pakan
Kelinci memiliki kemampuan biologis yang tinggi, selang beranak pendek, mampu beranak banyak, dapat hidup dan berkembang biak di limbah pertanian da hijauan. Menurut Darman (2011), bahwa ketersediaan rumput, leguminosa, berbagai jenis herbal, dan limbah sayuran seperti daun wortel, kobis serta limbah petanian seperti dedak, onggok, ampas tahu dan lain-lain. Pakan di daerah beriklim tropis seperti Indonesia itu merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan sebagai bakan pakan kelinci.
Pakan merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya produktivitas ternak. Penerapan tatalaksana pemberian pakan, yang berorientasi pada kebutuhan kelinci dan ketersediaan bahan pakan, merupakan upaya yang tepat untuk meningkatkan produktivitas ternak kelinci secara efisien (Muslih, 2010).
4. Pemberian Minum
Air sangat diperlukan untuk melancarkan makanan dalam saluran pencernaan, terlebih lagi terkait dengan produksi susu bagi induk yang sedang menyusui. Air minum diberikan secara adlibitum. Pemberian dapat dilakukan dengan menyediakan tempat minum pada masing-masing kandang. Pada beberapa peternakan intesif air minum diberikan dengan sistem nipple yang diinstalasikan pada masing-masing kandang.
5. Kebersihan Kandang
Kandang kelinci seharusnya dibersihkan setiap hari seperti buang sisa pakan segar yang tidak dimakan dari kandang setiap hari (pada pagi dan malam hari), cuci wadah pakan dan minum, lalu isi ulang dengan yang baru, dan bersihkan dasar kandang dengan sapu lidi, lalu bersihkan kotoran yang lengket (kotoran akibat diare atau sisa pakan yang menempel di dasar kandang). Ada kalanya perlu dilakukan desinfeksi kandang secara berkala. Namun, desinfektan yang digunakan harus dibilas dengan baik dan disesuaikan dengan bahan pembuat kandang. Desinfektan bukan merupakan pilihan yang baik untuk kandang kayu karena mudah menyerap bahan kimia (Muhammad, 2013).
6. Penyakit dan Pengendalian Penyakit
Penyakit yang biasa menyerang ternak kelinci salah satunya yaitu scabies, kembung, diare, dan lain-lain. Scabies merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei yang berkembang biak pada permukaan kulit. Gejala klinis Scabies diantaranya berupa gatal-gatal, ditemukannya banyak ketombe pada permukaan kulit dan terjadinya kerontokan bulu. Penyakit ini ditularkan relatif cepat melalui kontak langsung dari satu individu hewan yang telah terinfestasi Sarcoptes scabies kepada individu hewan yang lain. Kasus scabies di Indonesia masih cukup tinggi jumlahnya dan seringkali ditemukan pada hewan kecil maupun hewan besar (Rahayu, 2015).


III.             KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
1. Sistem reproduksi tersusun atas genital internal dan eksternal.
2. Organ reproduksi kelinci betina berupa sepasang ovarium, uterus, vagina, vulva, labium majus, labium ninus, dan clitoris.
3. Organ reproduksi jantan terdiri dari testis, epididimis, penis.
4. Manajemen pemeliharaan kelinci terdiri atas persiapan kandang, pemilihan bibit, pemberian pakan, pemberian minum, kebersihan kandang, serta pengendalian penyakit
3.2 Saran
Dalam usaha budidaya kelinci sebaiknya lebih memperhatiakn beberapa aspek diatas , agar hasil dari ternak tersebut bisa lebih optimal.
Untuk lebih memahami semua tentang ternak kelinci, disarankan para pembaca mencari referensi lain yang berkaitan dengan materi pada makalah ini. Selain itu, diharapkan para pembaca setelah membaca makalah ini mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari – hari.  
DAFTAR PUSTAKA
Campbell. Neil A. 1999. Biologi edisi kelima jilid 2. Erlangga. Jakarta.
Coleman. 1965. Pemeliharaan Kelinci dan Burung Puyuh. Yasaguna. Jakarta.
Darman. 2011. “Analisis Ekonomi Usaha Ternak Kelinci”. Binus Bussines Review vol 2 (2): 914-92
Diwyanto, K. Moerfiah dan P. Sitorus, 1985. Pengaruh Umur Penyapihan dan Bobot Badan dan Mortilitas Kelinci. Balitnak. Bogor.
Kartadisastra, H. R. 1995. Berternak Kelinci Unggul. Kanisius. Yogyakarta.
Kastawi, 1992. Aneka Ternak. Universitas Brawijaya, Malang.
Moerfiah dan K. Diwyanto. 1985. Performa Produksi Berbagai Jenis Kelinci (Reproduksi, Litter Size dan Bobot Lahir). Balai Penilaian Ternak. Bogor.
Muhammad, Y., Kanda dan Pratiwi, K. 2013. Hewan kesayangan mini dan eksotik. Penebar Swadaya. Jakarta.
Muslih, dkk. 2010. Tatalaksana pemberian pakan untuk menunjang agrobisnis kelinci. Balai penelitian ternak. Bogor.
Rahayu, Asih dan Miranti Candrarisna. 2015. Perbandingan Aktivitas Linimentum Ekstrak Koral Kelimutu dan Linimentum Ekstrak Daun Lamtoro (Leucaena leucochepala) Terhadap Penyembuhan Scabies Pada Kelinci (Oryctolagus cuniculus). Jurnal sains veteriner. Vol 33. No 2. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Wijaya Kusuma. Surabaya.
Sarwono, B. 1985. Beternak Kelinci Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta.aa
Tarsono, Najamudin, Mustaring, Yulius, D, Supriono. “Performa Litter Kelinci-Induk Lokal yang Diberi Pakan Hijauan Ubi Jalar Disuplementasi Sejumlah Kosentrat Berbeda”. Jurnal Agroland.Vol 16(1): 78-84.
Warman AR, 1982. Penyakit Pada Kelinci Mencegah Dan Mengobatinya. Dirgahayu. Bandung.
Yunus, M., dan Minarti, S. 1990. Aneka Ternak. Universitas Brawijaya. Malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar