Sabtu, 10 Juni 2017

Daging

Latar Belakang
Kebutuhan masyarakat dalam negeri terhadap daging akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, peningkatan taraf ekonomi, kesadaran masyarakat akan gizi, dan keberadaan masyarakat luar negeri. Impor daging sapi untuk memenuhi kebutuhan pasar masih terus dilakukan, karena sapi lokal Indonesia masih belum mampu menghasilkan daging dengan kualitas premium. Daging yang diimpor tersebut mempunyai beberapa kelebihan, yaitu lebih empuk, derajat marbling yang tinggi sehingga sangat disukai oleh konsumen.
Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi. Selain mutu proteinnya yang tinggi, daging mengandung asam amino esensial yang lengkap dan seimbang serta beberapa jenis mineral dan vitamin. Daging merupakan protein hewani yang lebih mudah dicerna dibanding dengan protein nabati. Bagian yang terpenting yang menjadi acuan konsumen dalam pemilihan daging adalah sifat fisik. Sifat fisik dalam hal ini antara lain warna, keempukan, tekstur, kekenyalan dan kebasahan.
Karakteristik daging pada setiap jenis ternak kemungkinan berbeda, namun hal ini sering dianggap sama. Masyarakat pada umumnya menilai karakteristik daging kerbau mengacu pada karakteristik daging sapi, sehingga dalam pengolahan daging sering terdapat perbedaan hasil akhir. Informasi sifat fisik daging pada berbagai jenis ternak sangat penting, agar dapat dilakukan pengolahan yang tepat dan berkualitas.
Tinjauan Pustaka
Daging merupakan salah satu hasil ternak sumber protein hewani yang bermutu
tinggi dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan asam-asam amino esensial tubuh. Daya beli konsumen yang meningkat mengakibatkan konsumen memilih daging yang bermutu, disamping kuantitas. Daging yang banyak dikonsumsi di Indonesia adalah ayam pedaging, sapi, domba, kambing dan babi (Susilo, 2007).
Daging yang berkualitas tinggi adalah daging yang berkembang penuh dan
baik, konsistensi kenyal, tekstur halus, warna terang dan marbling yang cukup. Faktor yang ikut menentukan palatabilitas dan daya tarik antara lain warna, WHC (water-holding capacity), tekstur, keempukan, bau, citarasa, aroma dan pH. Keempukan ditentukan oleh komponen-komponen daging yaitu struktur miofibril dan tingkat kontraksinya, WHC oleh protein daging dan juiciness daging serta kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silangnya (Dhuljaman et al., 1984)
Proses glikolisis setelah ternak dipotong berpengaruh pada nilai pH. Semakin lama waktu postmortem akan terjadi penurunan pH yang semakin rendah akibat proses konversi otot menjadi daging pada jarak waktu postmortem tertentu. Nilai pH ultimat daging yang normal berkisar antara 5,4- 5,8 pada 6 jam postmortem dan warna daging akan menjadi merah cerah (Aberle et al., 2001).
Pembahasan
Angka Kecukupan Gizi (AKG) atau Recommended Dietary Allowances (DRA) merupakan kecukupan rata-rata zat gizi sehari menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh aktifitas fisik, genetik dan keadaan fisiologis untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Menurut Hardinsyah (2010) Angka kecukupan gizi (AKG) berguna sebagai patokan dalam penilaian dan perencanaan konsumsi pangan, serta basis dalam perumusan acuan label gizi. Angka kecukupan gizi mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan Iptek gizi dan ukuran antropometri penduduk.
Penjelasan saat praktikum bahwa protein yang terkandung dalam daging sekitar 18-20. Hal ini sesuai pendapat Wijayaanti (2013) bahwa daging ayam memiliki kandungan protein sebesar 18,20-23,5%. Protein asal hewani yang dibutuhkan sebesar 25% untuk memenuhi AKG.
Daging merupakan salah satu sumber protein bagi tubuh. Komposisi protein kimiawi daging sebesar 20%, air 75%, sisanya beberapa vitamin, karbohidrat, mineral. Sesuai dengan pendapat Rosyidi (2009) Komposisi kimia daging ayam yaitu kadar air 74,86%, protein 23,20%, lemak 1,65%, mineral 0,98%, dan kalori 114 kkal.
WHC
Water holding capacity atau daya ikat air adalah kemampuan protein daging mengikat air selama proses penekanan. Menurut Forrest (1975) kapasitas mengikat air didefinisikan sebagai kemampuan dari daging untuk mengikat atau menahan air selama mendapat tekanan dari luar, seperti pemotongan, pemanasan, penggilingan atau pengepresan. Sampel yang digunakan yaitu daging ayam dengan berat 0,3 gr.
Pengujian tersebut menunjukkan hasil pada daging segar ......, sedangkan pada daging layu ........ Daya ikat air pada daging layu lebih rendah dari daging segar. Sesuai dengan pendapat Abustam (2010) bahwa daya ikat air akan menurun dengan meningkatnya waktu postmortem. Menurut Forrest (1975) kapasitas mengikat air merupakan faktor mutu yang penting karena berpengaruh langsung terhadap keadaan fisik daging seperti keempukan, warna, tekstur, juiceness, serta pengerutan daging.
Faktor yang mempengaruhi daya ikat air internal yaitu spesies, umur, jenis kelamin, dan external yaitu pelayuan, pemanasan, penyimpanan. Menurut Forrest (1975) kapasitas mengikat air jaringan otot mempunyai efek langsung pada pengkerutan dari daging selama penyimpanan. Daging dengan kapasitas mengikat air yang rendah akan menyebabkan banyaknya cairan yang hilang, sehingga selama pemasakan akan terjadi kehilangan berat yang besar.
PH
Hasil pengujian menunjukkan sampel segar memiliki kadar keasaman ......, sedangkan sampel layu ........ Sesuai dengn pernyataan Bukcle (1987) bahwa Jaringan otot hewan pada saat masih hidup mempunyai pH pada kisaran 7,2 sampai 7,4. Menurut Forrest (1975) pH daging akan menurun setelah pemotongan, karena mengalami glikolisis dan dihasilkan asam laktat yang akan mempengaruhi pH.
Terhentinya suplai oksigen setelah hewan mati menyebabkan terhentinya pula proses respirasi. Kondisi ini menyebabkan terbentuknya asam laktat hasil pemecahan glikogen secara an aerob yang mengakibatkan terjadinya penurunan pH. sesuai pernyataan Swatland (1984), bahwa terjadinya penurunan pH setelah meotongan karena pembentukan asam laktat hasil perombakan glikogen secara an aeronik.
proses rigormortis terjadi pada empat jam setelah pemotongan dan setelah itu penurunan pH menjadi lambat sampai dicapai pH ultimat daging pada kisaran 5,4 sampai 5,8. Menurut Suparno (1992), bahwa pH daging akan mengalami penurunan sesuai dengan waktu penyimpanan, semakin lama penyimpanan akan semakin rendah pH daging sampai tercapai pH akhir pada kisaran 5,4 sampai 5,8. Daging pada fase pre rigor memiliki karakteristik daging yang lentur dan lunak, kemudian terjadi perubahan-perubahan, yaitu menjadi kaku, hal ini disebabkan bersatunya aktin dan miosin membentuk aktomiosin, kekakuan otot setelah pemotongan disebut dengan rigormortis.
Cooking Losses
Cooking Losses atau susut masak adalah berat yang hilang selama pemasakan. Menurut Soeparno (1992) susut masak merupakan indikator nilai nutrien daging yang berhubungan dengan kadar jus daging, yaitu banyak nya air yang terikat di dalam dan di antara serabut otot. Daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit.
Hasil pengamatan menunjukkan susut masak daging segar sebesar ........, sedangkan pada daging layu ........ Penurunan susut masak ini disebabkan terjadinya penurunan pH daging post mortem yang mengakibatkan banyak protein miofibriler yang rusak, sehingga diikuti dengan kehilangan kemampuan protein untuk mengikat air yang pada akhirnya semakin besarnya susut masak. sebagaimana pernyataan Hartono (2013) bahwa susut masak dipengaruhi oleh waktu post mati.
Makin tinggi suhu pemasakan dan atau makin lama waktu pemasakan, makin besar pula kadar cairan daging yang hilang sampai mencapai tingkat yang konstan. Menurut Hartono (2013) Susut masak merupakah fungsi dari temperatur dan lama pemasakan, disamping itu susut masak dipengaruhi pH, panjang sarkomer, serabut otot, panjang potongan serabut otot, ukuran berat sampel daging dan penampang melintang daging. Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi. Menurut Soeparno (1992) umumnya susut masak bervariasi antara 1.5% - 54.5% dengan kisaran 15% - 40%.
Keempukan
Keempukan dan tekstur daging adalah penentu yang paling penting pada kualitas daging. Keempukan dipengaruhi oleh kadar air, lemak dan protein. Sesuai dengan pendapat Suradi (2006) bahwa semakin tinggi kadar protein akan semakin meningkatkan keempukan, karena dengan semakin meningkatnya kadar protein akan menyebabkan air terikat lebih banyak.
Hasil pengamatan menunjukkan sampel segar memiliki nilai keempukan yang tinggi dari sampel layu. Posisi sampel membujur cenderung memiliki nilai keempukan lebih tinggi dari melintang karena serat searah jarum. Menurut Soeparno (1992) keempukan bisa bervariasi di antara spesies, bangsa ternak dalam spesies yang sama, potongan karkas, dan di antara otot, serta pada otot yang sama.
Nilai keempukan daging rendah menunjukkan bahwa daging yang dihasilkan semakin padat dan tidak berlemak. Sesuai pendapat Soeparno (1992) bahwa semakin tinggi tingkat energi maka lemak yang dihasilkan semakin banyak sehingga keempukan daging meningkat. Makin tinggi kandungan protein daging maka nilai keempukan daging makin rendah.

Dapus
Aberle, E.D., J.C. Forrest, H.B. Hendrick, M.D. Judge dan R.A. Merkel. 2001. Principles of Meat Science. W.H. Freeman and Co., San Fransisco.
Abustam, E. 2013. Pengaruh tingkat penambahan fosfat dan asap cair terhadap kualitas nugget daging broiler prarigor bagian paha dan dada. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.A. Fleet, dan M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan Terjemahan Hari P. dan Adiono. Universitas Indonesia Press. Yakarta
Dhuljaman, M., N. Sugana, A. Natasasmita dan A.R. Lubis, 1984. Studi Kualitas Karkas Domba Lokal Priangan Berdasarkan Jenis Kelamin dan Pengelompokkan Bobot Potong Domba dan Kambing Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Forrest, J.C., E.B. Aberle, H.B. Hedrick, M.D. Judge, dan R.A. Merkel. 1975. Principles of Meat Science. W.H. Freeman and Co., San Fransisco
Hartono, E., Ning, I., dan R. Singgih. S. S. 2013. Penggunaan pakan fungsional terhadap daya ikat air, susut masak, dan keempukan daging ayam broiler (the use functional feed on water holding capacity, cooking losses, and tenderness of broiler meat). Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):10-19
Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press, Yogyakarta
Suradi, k. 2006. Perubahan Sifat Fisik Daging Ayam Broiler Post Mortem Selama Penyimpanan Temperatur Ruang (Change of Physical Characteristics of Broiler Chicken Meat Post Mortem During Room Temperature Storage). JURNAL ILMU TERNAK, VOL. 6 NO. 1, 23 – 27
Susilo, A. 2007. Karakteristik fisik daging beberapa bangsa babi. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Hal 42-51 Vol. 2, No. 2
Swatland, H.J. 1984. Structure and Development of Meat Animal. Printice-Hall Inc. New Jersey

Tidak ada komentar:

Posting Komentar