Latar Belakang
Kebutuhan masyarakat dalam negeri terhadap daging akan terus
meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, peningkatan taraf
ekonomi, kesadaran masyarakat akan gizi, dan keberadaan masyarakat luar negeri.
Impor daging sapi untuk memenuhi kebutuhan pasar masih terus dilakukan, karena
sapi lokal Indonesia masih belum mampu menghasilkan daging dengan kualitas
premium. Daging yang diimpor tersebut mempunyai beberapa kelebihan, yaitu lebih
empuk, derajat marbling yang tinggi sehingga sangat disukai oleh konsumen.
Daging merupakan bahan pangan yang penting
dalam memenuhi kebutuhan gizi. Selain mutu proteinnya yang tinggi, daging
mengandung asam
amino esensial yang lengkap dan seimbang serta beberapa jenis mineral dan
vitamin. Daging merupakan
protein hewani yang lebih mudah dicerna dibanding dengan protein nabati.
Bagian yang
terpenting yang menjadi acuan konsumen dalam pemilihan daging adalah sifat fisik.
Sifat fisik dalam
hal ini antara lain warna, keempukan, tekstur, kekenyalan dan
kebasahan.
Karakteristik daging pada setiap jenis ternak kemungkinan
berbeda, namun hal ini sering dianggap sama. Masyarakat pada umumnya menilai
karakteristik
daging kerbau mengacu pada karakteristik daging sapi, sehingga dalam
pengolahan daging sering terdapat perbedaan hasil akhir. Informasi
sifat fisik daging pada berbagai jenis ternak sangat penting, agar dapat
dilakukan pengolahan
yang tepat dan berkualitas.
Tinjauan Pustaka
Daging merupakan salah satu hasil ternak sumber protein hewani
yang bermutu
tinggi dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan asam-asam amino esensial tubuh. Daya beli konsumen yang meningkat mengakibatkan konsumen memilih daging yang bermutu, disamping kuantitas. Daging yang banyak dikonsumsi di Indonesia adalah ayam pedaging, sapi, domba, kambing dan babi (Susilo, 2007).
tinggi dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan asam-asam amino esensial tubuh. Daya beli konsumen yang meningkat mengakibatkan konsumen memilih daging yang bermutu, disamping kuantitas. Daging yang banyak dikonsumsi di Indonesia adalah ayam pedaging, sapi, domba, kambing dan babi (Susilo, 2007).
Daging yang berkualitas tinggi adalah daging yang berkembang penuh
dan
baik, konsistensi kenyal, tekstur halus, warna terang dan marbling yang cukup. Faktor yang ikut menentukan palatabilitas dan daya tarik antara lain warna, WHC (water-holding capacity), tekstur, keempukan, bau, citarasa, aroma dan pH. Keempukan ditentukan oleh komponen-komponen daging yaitu struktur miofibril dan tingkat kontraksinya, WHC oleh protein daging dan juiciness daging serta kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silangnya (Dhuljaman et al., 1984)
baik, konsistensi kenyal, tekstur halus, warna terang dan marbling yang cukup. Faktor yang ikut menentukan palatabilitas dan daya tarik antara lain warna, WHC (water-holding capacity), tekstur, keempukan, bau, citarasa, aroma dan pH. Keempukan ditentukan oleh komponen-komponen daging yaitu struktur miofibril dan tingkat kontraksinya, WHC oleh protein daging dan juiciness daging serta kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silangnya (Dhuljaman et al., 1984)
Proses glikolisis setelah ternak dipotong berpengaruh
pada nilai pH. Semakin lama waktu postmortem
akan terjadi penurunan pH yang semakin
rendah akibat proses konversi otot menjadi daging pada jarak
waktu postmortem
tertentu.
Nilai pH
ultimat daging yang normal berkisar antara 5,4- 5,8 pada 6 jam postmortem dan warna daging
akan menjadi
merah cerah (Aberle et al., 2001).
Pembahasan
Angka
Kecukupan Gizi (AKG) atau Recommended Dietary Allowances (DRA)
merupakan kecukupan rata-rata zat gizi sehari menurut golongan umur, jenis
kelamin, ukuran tubuh aktifitas fisik, genetik dan keadaan fisiologis untuk
mencapai derajat kesehatan yang optimal. Menurut Hardinsyah
(2010) Angka
kecukupan gizi (AKG) berguna sebagai patokan dalam penilaian dan perencanaan
konsumsi pangan, serta basis dalam perumusan acuan label gizi. Angka
kecukupan gizi
mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan Iptek gizi dan ukuran
antropometri
penduduk.
Penjelasan saat praktikum bahwa protein yang terkandung dalam
daging sekitar 18-20. Hal ini sesuai pendapat Wijayaanti (2013) bahwa daging
ayam memiliki kandungan protein sebesar 18,20-23,5%. Protein asal hewani yang
dibutuhkan sebesar 25% untuk memenuhi AKG.
Daging merupakan salah satu sumber protein bagi tubuh. Komposisi
protein kimiawi daging sebesar 20%, air 75%, sisanya beberapa vitamin,
karbohidrat, mineral. Sesuai dengan pendapat Rosyidi (2009) Komposisi kimia
daging ayam yaitu kadar air 74,86%, protein 23,20%, lemak 1,65%, mineral 0,98%,
dan kalori 114 kkal.
WHC
Water holding capacity atau daya ikat air adalah kemampuan protein
daging mengikat air selama proses penekanan. Menurut Forrest (1975) kapasitas
mengikat air didefinisikan sebagai kemampuan dari daging untuk mengikat atau
menahan air selama mendapat tekanan dari luar, seperti pemotongan, pemanasan,
penggilingan atau pengepresan. Sampel yang digunakan yaitu daging ayam dengan
berat 0,3 gr.
Pengujian tersebut menunjukkan hasil pada daging segar ......, sedangkan
pada daging layu ........ Daya ikat air pada daging layu lebih rendah dari
daging segar. Sesuai dengan pendapat Abustam (2010) bahwa daya ikat air akan
menurun dengan meningkatnya waktu postmortem. Menurut Forrest (1975) kapasitas
mengikat air merupakan faktor mutu yang penting karena berpengaruh langsung
terhadap keadaan fisik daging seperti keempukan, warna, tekstur, juiceness,
serta pengerutan daging.
Faktor yang mempengaruhi daya ikat air internal yaitu spesies,
umur, jenis kelamin, dan external yaitu pelayuan, pemanasan, penyimpanan.
Menurut Forrest (1975) kapasitas mengikat air jaringan otot mempunyai efek
langsung pada pengkerutan dari daging selama penyimpanan. Daging dengan
kapasitas mengikat air yang rendah akan menyebabkan banyaknya cairan yang
hilang, sehingga selama pemasakan akan terjadi kehilangan berat yang besar.
PH
Hasil pengujian menunjukkan sampel segar memiliki kadar keasaman
......, sedangkan sampel layu ........ Sesuai dengn pernyataan Bukcle (1987)
bahwa Jaringan otot hewan pada saat masih hidup mempunyai pH pada kisaran 7,2
sampai 7,4. Menurut Forrest (1975) pH daging akan menurun setelah pemotongan,
karena mengalami glikolisis dan dihasilkan asam laktat yang akan mempengaruhi
pH.
Terhentinya suplai oksigen setelah hewan mati menyebabkan
terhentinya pula proses respirasi. Kondisi ini menyebabkan terbentuknya asam
laktat hasil pemecahan glikogen secara an aerob yang mengakibatkan terjadinya
penurunan pH. sesuai pernyataan Swatland (1984), bahwa terjadinya penurunan pH
setelah meotongan karena pembentukan asam laktat hasil perombakan glikogen
secara an aeronik.
proses rigormortis terjadi pada empat jam setelah pemotongan dan
setelah itu penurunan pH menjadi lambat sampai dicapai pH ultimat daging pada
kisaran 5,4 sampai 5,8. Menurut Suparno (1992), bahwa pH daging akan mengalami
penurunan sesuai dengan waktu penyimpanan, semakin lama penyimpanan akan
semakin rendah pH daging sampai tercapai pH akhir pada kisaran 5,4 sampai 5,8.
Daging pada fase pre rigor memiliki karakteristik daging yang lentur dan lunak,
kemudian terjadi perubahan-perubahan, yaitu menjadi kaku, hal ini disebabkan
bersatunya aktin dan miosin membentuk aktomiosin, kekakuan otot setelah
pemotongan disebut dengan rigormortis.
Cooking Losses
Cooking Losses atau susut masak adalah berat yang hilang selama
pemasakan. Menurut Soeparno (1992) susut masak merupakan indikator nilai
nutrien daging yang berhubungan dengan kadar jus daging, yaitu banyak nya air
yang terikat di dalam dan di antara serabut otot. Daging dengan susut masak
yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada daging
dengan susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan
akan lebih sedikit.
Hasil pengamatan menunjukkan susut masak daging segar sebesar
........, sedangkan pada daging layu ........ Penurunan susut masak ini
disebabkan terjadinya penurunan pH daging post mortem yang mengakibatkan banyak
protein miofibriler yang rusak, sehingga diikuti dengan kehilangan kemampuan
protein untuk mengikat air yang pada akhirnya semakin besarnya susut masak.
sebagaimana pernyataan Hartono
(2013) bahwa susut masak dipengaruhi oleh waktu post mati.
Makin tinggi suhu pemasakan dan atau makin lama waktu pemasakan,
makin besar pula kadar cairan daging yang hilang sampai mencapai tingkat yang
konstan. Menurut Hartono (2013)
Susut masak merupakah fungsi dari temperatur dan lama pemasakan, disamping itu
susut masak dipengaruhi pH, panjang sarkomer, serabut otot, panjang potongan
serabut otot, ukuran berat sampel daging dan penampang melintang daging. Susut
masak merupakan indikator nilai nutrisi. Menurut Soeparno (1992) umumnya susut
masak bervariasi antara 1.5% - 54.5% dengan kisaran 15% - 40%.
Keempukan
Keempukan dan tekstur daging adalah penentu yang paling penting
pada kualitas daging. Keempukan dipengaruhi oleh kadar air, lemak dan protein.
Sesuai dengan pendapat Suradi
(2006) bahwa semakin tinggi kadar protein akan semakin meningkatkan
keempukan, karena dengan semakin meningkatnya kadar protein akan menyebabkan
air terikat lebih banyak.
Hasil pengamatan menunjukkan sampel segar memiliki nilai keempukan
yang tinggi dari sampel layu. Posisi sampel membujur cenderung memiliki nilai
keempukan lebih tinggi dari melintang karena serat searah jarum. Menurut
Soeparno (1992) keempukan bisa bervariasi di antara spesies, bangsa ternak
dalam spesies yang sama, potongan karkas, dan di antara otot, serta pada otot
yang sama.
Nilai keempukan daging rendah menunjukkan bahwa daging yang
dihasilkan semakin padat dan tidak berlemak. Sesuai pendapat Soeparno (1992)
bahwa semakin tinggi tingkat energi maka lemak yang dihasilkan semakin banyak
sehingga keempukan daging meningkat. Makin tinggi kandungan protein daging maka
nilai keempukan daging makin rendah.
Dapus
Aberle, E.D., J.C. Forrest, H.B.
Hendrick, M.D. Judge dan R.A. Merkel. 2001. Principles of
Meat Science. W.H.
Freeman and Co., San Fransisco.
Abustam, E. 2013. Pengaruh
tingkat penambahan fosfat dan asap cair terhadap kualitas nugget daging broiler
prarigor bagian paha dan dada. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.A. Fleet, dan M. Wooton. 1987. Ilmu
Pangan Terjemahan Hari P. dan Adiono. Universitas Indonesia Press. Yakarta
Dhuljaman, M., N. Sugana, A. Natasasmita dan A.R. Lubis, 1984. Studi
Kualitas Karkas Domba Lokal Priangan Berdasarkan Jenis Kelamin dan
Pengelompokkan Bobot Potong Domba dan Kambing Indonesia. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Forrest, J.C., E.B. Aberle, H.B. Hedrick, M.D. Judge, dan R.A.
Merkel. 1975. Principles of Meat Science. W.H. Freeman and Co., San Fransisco
Hartono, E., Ning, I., dan R. Singgih.
S. S. 2013. Penggunaan
pakan fungsional terhadap daya ikat air, susut masak, dan keempukan daging ayam
broiler (the use functional feed on water holding capacity, cooking losses, and
tenderness of broiler meat). Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):10-19
Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University
Press, Yogyakarta
Suradi, k. 2006. Perubahan Sifat Fisik
Daging Ayam Broiler Post Mortem Selama Penyimpanan Temperatur Ruang (Change of Physical
Characteristics of Broiler Chicken Meat Post Mortem During Room Temperature
Storage). JURNAL ILMU TERNAK, VOL. 6 NO. 1,
23 – 27
Susilo, A. 2007. Karakteristik
fisik daging beberapa bangsa babi.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Hal 42-51 Vol. 2, No. 2
Swatland, H.J. 1984. Structure and Development of Meat Animal.
Printice-Hall Inc. New Jersey
Tidak ada komentar:
Posting Komentar